Senin, September 07, 2009

First Love Never Die

Kalimat itu yang tiba-tiba terfikir olehku setiap kali aku berfikir tentang dia. Smua berawal saat 12 tahun lalu, ketika dia menyapaku. He's my first love at first sight.

"ah cuma cinta monyet" pikirku saat itu. Cinta monyet yang tak kan bertahan lama dan segera akan tergantikan manakala aku menemukan cowo lain. Tapi nyatanya enggak, aku akui aku tak sepenuhnya berfikir bahwa hanya dia di mata dan hatiku. aku bisa mencintai orang lain. Dia yang tadinya kupikir hanya bisa tersimpan dalam hati.

Aku mungkin sedikit dari sekian banyak wanita dimuka bumi ini yang bisa meraih "first love"ku. setidaknya sejak saat dia mengenalku hingga aku duduk di semester 4 semasa kuliah. Ya, kami mampu bertahan hingga 8 tahun.

Bukan aku yang sempurna, tapi dia. Dia yang mampu meredam segala emosiku yang terpaut 4 tahun darinya. Herman(nama yang lucu), 4 September 1982. Lelaki yang mampu menjagaku. Lelaki yang tak pernah lelah sekalipun hubungan kami tak mendapat restu dari orang tuaku.

Bukan. Bukan karna dia tidak baik. Bukan karna dia lelaki yang berwatak buruk. Tapi ada 1 hal prinsip yang tak juga dapat kami cari jalan keluarnya.

Justru mama yang sebenarnya aku tahu sangat respect dengannya. Dia yang tak segan membantu keluargaku. Bukan bantuan yang hebat malah. Hanya dia selalu memberikan perhatian dan sikap khusus tak hanya padaku tapi juga pada keluargaku. Dan satu hal yang membuatku tak habis pikir, selama 8 tahun kami bersama tak lebih dari 3 kali kami bertengkar, setiap selisih paham yang terjadi dia selalu mengajariku untuk menyelesaikannya saat itu juga supaya tak menjadi ganjalan. Selain itu, memang pada dasarnya kami bukan pasangan yang egois, kami bisa saling mengerti dan menerima kemauan satu sama lain. Itu yang tak ku temui di pasangan-pasanganku yang lain. Bisa saling mengerti satu sama lain tanpa tekanan.

Dia yang tak segan menunggu di luar rumah semalaman karna mengkhawatirkan papaku saat sakit. Dia yang pemalu bukanlah lelaki yang nekat tanpa berfikir panjang. Dia yang mengerti akan keadaanku. Dia yang menguatkan aku.

Tepat kepulanganku saat libur panjang perkuliahan semester 4, 2005 lalu. Saat aku memutuskan untuk menyelesaikan hubungan kami. Tentu saja bukan perkara mudah. Tapi dia mengerti bahwa tak ada jalan lain bagi kami. Ada (sebenernya) hanya dia yang bisa merubah jalan itu.

Komunikasi kami (yang memang pada masa itu tidak seperti saat ini bertebaran telefon-telefon seluler bak kacang rebus) memang tidak sempurna, tapi itu bukan halangan bagi kami, terputus sejak saat aku memintanya untuk mengakhiri hubungan kami.

Belakangan, (semenjak aku tak lagi hidup terpisah dengan orang tuaku) aku kembali ke rumah yang artinya akan sering bertemu dengan dia yang notabenenya adalah tetanggaku. Kami sering bertemu. Kupikir dia sudah memiliki wanita lain yang lebih baik dariku. Tapi ternyata enggak, justru dari teman-teman kami aku mengetahui bahwa dia masih menyayangiku. Dia masih setia menungguku.

Kami masih saling setia, meski ku akui entah berapa kali sudah aku menjalin kisah dengan lelaki lain semenjak berakhirnya hubungan kami. Aku berusaha melupakan dia. Bukan perkara mudah tentu, karna entah kenapa hanya dengan dia aku memiliki 'ikatan batin'. Sulit dipercaya memang, tapi begitu keadaannya.

Dia mengerti maksudku dan tak pernah memaksakan kehendaknya sekalipun. Dia mulai bisa menerima bahwa hubungan kami sudah berakhir.

Tapi entah kenapa, beberapa waktu belakangan ini dia mulai menunjukkan sikap yang beda. Dia berusaha mencari celah untuk memperbaiki hubungan kami kembali. Bukan hal besar memang, karna dia tahu bahwa aku nggak suka dipaksa.

Beberapa kali tak kuasadari termasuk saat dia tak mau menjawab pertanyaan dari rekan kerjanya tentang siapa aku. Dia lebih memilih melempar pertanyaan itu untukku.

"Kamu aja yang jawab" katanya. Sesaat aku nggak ngerti sampai saat aku mau menjawab pertanyaan itu...

Satu detik...dua detik...tiga detik...entah kenapa sulit bagiku walaupun hanya sekedar menjawab "temennya" atau malah "mantannya". hingga beberapa detik aku tau itu juga yang dia rasain, dia lebih memilih melempar pertanyaan itu supaya aku yang bingung. :angry:.

Akhirnya aku memilih tidak menjawab dan hanya sekedar :

"tanya aja sama dia" melempar kembali. :wink:

Aku masih berfikir itu hanya guyonan aja.

Sore hari, Minggu, 6 September 2009

Bulan Puasa saat liburan begini aku memilih menghabiskan hari liburku di rumah. 'Lumayan buat recharge power' pikirku. Tapi adik bungsuku mengajak aku dan adik sulungku tuk ngabuburit ke pasar tumpah di komplek belakang rumahku. Sesaat sebelum kami berangkat, kami berpapasan dengan dia. Sepertinya dia mau keluar juga tapi entah kemana karna berlawanan arah dengan kami.

Tak berapa lama tiba-tiba dia ada di samping kami. Berarti benar feelingku, kalo dia putar balik saat berpapasan dengan kami. Dia mengikuti kami. Tiba-tiba motor yang ku tumpangi bersama adik2ku hampir jatuh karna terlalu kekiri hingga menyenggol motor lain yang sedang parkir. Dia memberitahu adikku untuk tak terlalu kepinggir. aku pikir, ah ketemu ini karna kebetulan saja. Karna searah (mungkin). Tapi saat motorku berjalan lambat dia tak juga menyalip motor kami dan seperti seolah melambatkan motornya sehingga dia tetap mengawal motor kami. Dia terkejut saat tiba-tiba adikku membelokkan motor kami ke untuk parkir. Dia menungguku di sisi jalan lain, menunggu hingga aku kembali. Aku dan adik2ku pulang dengan dia tetap mengikuti di belakang kami. Dia masih seperti yang dulu. Dia punya caranya sendiri untuk menjagaku meski terkesan norak.

Bagi orang lain mungkin ini hal yang biasa tapi bagi kami, kami yang bertahan 8 tahun berkomitmen hingga di sadarkan keadaan yang tidak memungkinkan kami, ini kejadian yang penting. Sore hari itu pula akhirnya aku menyadari bahwa aku masih menyayanginya. Yah setidaknya dia masih punya tempat di hatiku. Dan entah dari mana tapi kini aku yakin dan percaya ucapan teman2ku yang berkata bahwa dia masih menyayangiku. Dia masih seperti yang dulu.

Tuhan, terimakasih atas semua rasa ini. Meskipun pada akhirnya kami nggak bisa bersama lagi setidaknya kami bersyukur kami pernah memiliki satu sama lain. Walaupun tak kupungkiri bahwa tak sedikit harapanku agar bisa kembali dengannya. Dan begitupula harapannya yang melalui temannya dia sampaikan untukku.

5 Oktober 1997 - 18 Agustus 2005